Jumat, 21 Oktober 2011

Siapa artis korea yang mukanya paling natural?

Siapa coba??
yaps, Yoona SNSD lah yang mukanya paling natural. Dan dia juga yang memegang predikat sebagai Ratu kecantikan. 

Bandingin aja ini Yoona waktu masih kecil.

 Dan, ini dia sekarang.. masih tetep mirip kan??

 Yoona juga di sebut-sebut dapat ngalahin kecantikan Go Hyun Jung  yang berperan sebagai mi Shill di the great queen seon deok dan Son Ye Jin yang berperan sebagai Park Kae In di drama personal taste.
Artis wanita korea bisa menghabiskan 1 juta won hingga 25 juta won buat bayar operasi plastik dari kecil sampai sekarang. Waaaaw... keren ya? mereka cuma ngabisin uang buat wajah biar lebeh cantik. tapi, itu sih terserah mereka. Toh, itu muka mereka. ya kan?

posted by: Fina Adani

She is Naysa Kalea Manov => my niece

Bingung deh mau nge-post apa. mending ngepost foto Kalea aja deh. itung-itung mau ngeksis sih. Hehe..

nah, ini dia pertama kali Kaka atau Kalea senyum waktu di foto manisnya ya?? kaya ntinya.

  Kalo ini, Kalea lagi mandi... 
  
    Yang ini juga Kalea lagi mandi di bath tub pake bola-bola.


 Kalea makan kolek pake tangan. Sampe berantakan kemana-mana. haduuuh... lengket ya ka??

Keren ya? kecil-kecil udah main komputer....
  
yang ini, gaya baru kalea. Kalea belum punya gigi...  lucu ya? kaya ntinya juga

 ini gaya termanis yang kalea punya. gaya termanis ko manyun ya?? serada goyang sih. gamau diem sih.

Sayangnya Fina ga pernah foto sama Kalea, susahnya minta ampun. gara-gara hiperaktifnya...

Sabtu, 15 Oktober 2011

MMSPH 8: Lily dan Tiga Pria Itu


Adakah yang pernah mengatakan kepada kalian, waktu itu adalah lingkaran nasib yang berputar tanpa henti? Siang-malam, pagi-petang, sepanjang tahun tak pernah rehat. Dalam setiap kesempatan putaran nasibnya selalu terjadi tiga kemungkinan. Paralel, bergerak serentak. Jikalah waktu bisa dimampatkan menjadi benda padat, lantas diletakkan di atas lintasan sirkular, maka kalian bisa menyaksikannya laksana tiga ekor kuda pacuan yang membelah sirkuit. Kencang memedihkan mata, berputar-putar tanpa henti jutaan lap.

Masalahnya selama ini kita tidak pernah terlalu peduli soal rentetan detik dan menit, kecuali menyangkut tentang kapan makan siang, kapan masuk kerja, kapan pulang kerja, kapan gajian tiba, dan kapan hari-hari libur. Kebanyakan dari kita lebih peduli tentang yang satu itu: nasib.

Celakanya seperti waktu, tidak satu pun di antara kita yang tahu persis apa hakikat nasib sebenarnya. Relativitas nasib sudah diterjemahkan dengan maju oleh manusia di seluruh muka bumi melalui ukuran tertentu, yang sayang sekali ukuran tersebut mutlak berasal dari kesepakatan mereka. Kesepakatan yang berani dan ceroboh sekali.

Bagaimana kalian tahu seseorang yang baru dipecat dari kantornya, lantas kehilangan mobil, sekaligus diceraikan istrinya berarti ia sedang bernasib sial? Itu hanya soal stigma masyarakat. Bagaimana pula kalian bisa menyimpulkan seseorang yang mendapatkan pekerjaan baru, gaji tinggi dan prospek karier hebat berarti ia sedang bernasib baik? Itu lebih karena kalian mempercayai dogma yang ada di lingkungan sekitar kalian.

Jika kalian belum paham juga, baiklah, mari kita simak kisah nyata satu ini. Cerita yang secara turuntemurun disampaikan oleh seseorang yang berusaha mati-matian memahami hakekat waktu dan nasib. Tidak. Hingga akhir cerita, kalian akan tahu ia juga tidak tahu persis makna waktu dan nasib sesungguhnya. Tetapi yang pasti ia memiliki pemahaman yang berbeda sekali dengan kesepakatan kalian selama ini, dan itu berharga untuk diceritakan.

***

Berpuluh-puluh tahun silam, di salah satu kota terindah di dunia. Kota itu indah karena menjadi titik pertemuan berjuta-juta nasib, sekaligus menjadi tempat perpisahan berjuta-juta nasib pula. Kota itu indah karena nasib-nasib itu selalu berputar-putar sepanjang masa: bertemu-berpisah, berpisah-bertemu lagi. Di pagi yang cerah musim gugur. Jam besar di jantung taman kota berdentang sembilan kali. Burungburung merpati berterbangan, selalu kaget dengan suara itu padahal sudah beratus-ratus tahun jam itu selalu mengeluarkan suaranya yang keras dan berwibawa. Dedaunan berjatuhan, berserakan menguning mengombak jalan setapak, rumput-rumput terpangkas rapi, meja-meja dan kursi-kursi taman. Anak-anak kecil berlari suka cita menyibak bebungaan, pasangan muda mendorong kereta bayinya, bergurau menikmati pagi. Orang-orang tua duduk melepas lelah, tersenyum lebar membuka surat-surat yang mengabarkan cucu-cucu mereka. Jikalau aku bisa membekukan waktu, sungguh menggetarkan pandangan sepagi itu. Mereka bergembira seolah besok tak ada menit yang tersisa.

Sementara itu, di pojok salah satu kafe yang terletak persis di tengah taman, seorang gadis cantik duduk begitu takzimnya. Rambut pirangnya menjuntai memperelok mata biru, hidung mancung, dan pipi berlesung pipit. Riasan tipis wajahnya cukup sudah membuat pria yang berlalu lalang di depan kafe meliriknya, mati tersandung cinta.

Dan seperti yang kalian lihat pagi itu, di meja-meja kafe yang kosong di sekitarnya, sudah terdapat tiga mayat pria gagah duduk berpura-pura. Pura-pura membaca koran, tapi mata tak henti melirik seperti seekor elang. Pura-pura menyeruput teh panas, tapi mulut tak henti mendesahkan namanya. Pura-pura mengikat tali sepatu, tapi jantung sedang mengikat segenap kekuatan untuk sekadar berani menyapa.

Jam besar itu berdentang sepuluh kali. Burungburung merpati sekali lagi rusuh berterbangan ke angkasa. Seorang anak yang sedang menyebarkan remah-remah roti terperanjat melihat ratusan kepakan sayap serentak. Ketakutan. Menangis berlari memeluk kaki ibunya. Ayahnya yang berdiri di belakang tertawatawa melihat kelakuannya, lupa ia dulu menangis lebih kencang dan lebih lama.

Seorang tukang sapu yang sedang membersihkan petak-petak taman mengomel karena beberapa anak bermain-main menghamburkan kulit wortel. Sedangkan seorang pemuda di balik bunga bougenville merah, malu-malu mencium pipi gadisnya, tidak tahu dan tidak peduli sepuluh kilometer darinya, kedua orang tua gadis itu tengah berbincang serius di rumah megah mereka: berbincang soal perjodohan anaknya bulan depan dengan putra sulung walikota.

Bagaimana dengan gadis cantik kita yang sedang duduk menikmati pagi di kafe di tengah taman kota? Tidak. Belum ada satu pun yang berubah di sana. Juga dengan tiga pria pura-pura di sekitarnya.

Jam besar itu berdentang sebelas kali. Burungburung merpati sekali lagi kaget terbang kesana-kemari. Dan seperti yang kukatakan sebelumnya, saat itulah kalian menyaksikan tiga putaran nasib yang luar biasa itu dalam satu hentakan. Ketiga-tiganya melesat serentak bagai anak panah. Paralel. Tiga nasib pria yang sedang duduk pura-pura itu.

Amat memedihkan mata menyaksikan kecepatan tiga anak panah tersebut. Tetapi karena tentu saja kita tidak bisa menuliskan tiga kejadian secara serentak secara tertulis, kecuali kalian sedang mendengarkan tiga orang yang bercerita sekaligus, maka kejadian itu terpaksa di ceritakan satu persatu.

Pria pertama yang memakai tuksedo hitam sehitam rambut lebatnya. Pria paling kaya dan paling berpendidikan di antara mereka, meskipun sayang semua fakta itu tidak disadarinya, pelahan-lahan berdiri dari duduknya. Gemetar melangkahkan kaki, ia mendekati meja gadis itu. Sekuntum mawar biru
merekah indah di tangannya, dua ekor kupu-kupu hinggap dan terbang di sekelilingnya.

Pria itu amat kacau menyatakan cintanya. Terburuburu, tanpa basa-basi, apalagi mengenalkan diri. Ia mengulurkan bunga mawar biru itu, menatap penuh perasaan, dan bibirnya bergetar menyajak puisi-puisi. Dan kalian bisa menduga apa yang terjadi selanjutnya. Gadis itu terkejut dari ketakzimannya, memandang takut-takut dan tak mengerti.

Pria itu memaksa memegang tangan si gadis, gadis itu mengibaskannya kuat-kuat. Serak ia berteriak. Tidak. Ia bukan sekadar menolak mentah-mentah cinta pria itu, tapi juga mempermalukannya dengan memanggil penjaga taman dan anjing herdernya. Terhina, pria pertama terlempar jauh dari nasib yang diinginkannya. Hari-hari berikut kehidupannya menjadi amat gelap. Dua puluh tahun kemudian ketika putaran nasib kembali mencapai siklusnya di kota ini, beruntung kita bisa melihat ujung ceritanya kelak.

Disaat bersamaan ketika pria pertama bangkit dari kursinya, pria kedua yang memakai jas biru gelap duduk di sebelahnya juga bangkit dari purapuranya. Sebuah sapu tangan putih terlipat rapi terselip di kantong jasnya, rambut berminyak disisir sangat menawan. Ia parlente dan amat wangi. Di tangannya, seperti pria pertama, juga tergenggam seikat bunga: sekuntum bunga seroja.

Pria itu tersenyum, menyapa hangat gadis berambut pirang. Mengajaknya berkenalan, lantas bercerita tentang pekerjaan. Pekerjaaanya sebagai broker saham dan pekerjaan gadis itu sebagai guru bahasa. Mereka tertawa bersama, saling memegang tangan, berdegup kencang jantung masing-masing, dan gemetar saling mengatakan cinta.

Mereka meninggalkan kafe itu tepat pukul dua belas. Berjanji bertemu esok harinya, hari-hari berikutnya dan hari-hari seterusnya. Hingga di pagi hari yang ke seratus, entah apa sebabnya keduanya bertengkar hebat di kafe itu. Sang gadis cantik tersedu-sedu menutup mukanya, berlari meninggalkan pria kedua kita.

Hari itu mereka putus hubungan. Dengan kesedihan mendalam pria kedua juga terlempar jauh dari nasib yang diinginkannya. Hari-hari berikut kehidupannya menjadi sangat gelap. Dua puluh tahun kemudian ketika putaran nasib kembali mencapai siklusnya di kota ini, baik sekali kita berkesempatan melihat ujung kisahnya kelak.

Pria ketiga, disaat bersamaan pria pertama dan pria kedua bangkit dari duduknya, juga berdiri dari kursinya. Ia menepuk celananya yang terkena ampas putih bawah meja, merapikan kerah kemeja merah, menyisir rambut hitam panjang dengan belahan jari. Lelaki ini amat gagah, matanya tajam, lengannya kokoh berbentuk, dan siluet badannya amat mengundang. Saat ia melangkah, seperti ada seribu lebah mendengung mengikutinya, membuat kalian sedikit pun tak bisa berpaling melihatnya. Di genggaman tangannya, seperti dua pria lainnya, entah darimana asalnya sekuntum bunga mekar dengan indahnya: sayangnya aku tidak tahu itu bunga apa.

Ia menyapa santun gadis cantik berambut pirang itu. Tersenyum hangat memamerkan putih deretan giginya. Bersalaman penuh penghormatan, membuat gadis itu seketika merasa menemukan tempat berlindung sejatinya. Mereka berbicara soal kegemaran masingmasing. Yang pria suka berburu yang wanita suka memasak, cocok sudah, suatu saat wanita pirang itu bisa memasak hasil buruan pria tersebut.

Tepat jam dua belas siang mereka berdua meninggalkan taman itu, berjanji untuk bertemu esok harinya, esok harinya, dan hari-hari selanjutnya hingga mereka bersepakat untuk menikah. Pernikahan itu dilangsungkan tepat ketika pria kedua putus cinta dengan wanita cantik berlesung pipit itu. Hari-hari berikut kehidupannya aku tidak tahu persis seperti apa.

Yang pasti dua puluh tahun kemudian ketika putaran nasib itu kembali mencapai siklusnya di kota ini, beruntung kita bisa melihat ujung ceritanya kelak.

***

Di pagi yang cerah musim gugur. Jam besar di tengah taman kota berdentang sembilan kali. Burungburung merpati berterbangan, selalu kaget dengan suara itu padahal sudah beratus-ratus tahun jam itu selalu mengeluarkan suaranya yang keras dan berwibawa. Dedaunan berjatuhan, berserakan menguning mengombak jalan setapak, rumput-rumput terpangkas rapi, meja-meja dan kursi-kursi taman.

Anak-anak kecil berlari suka cita menyibak bebungaan, pasangan muda mendorong kereta bayinya, bergurau menikmati pagi. Orang-orang tua duduk melepas lelah, tersenyum lebar membuka surat-surat yang mengabarkan cucu-cucu mereka. Jikalau aku bisa membekukan waktu, sungguh menggetarkan pandangan sepagi itu. Mereka bergembira seolah besok tak ada waktu yang tersisa.

Sementara itu, di pojok salah satu kafe yang terletak persis di tengah taman. Tidak. Hari ini di sana tidak ada seorang gadis cantik yang duduk begitu takzimnya dua puluh tahun silam. Waktu telah memutus kehidupannya di muka bumi ini. Ia telah meninggal lima belas tahun lalu. Yang ada di sana hanya tiga pria itu, yang masing-masing duduk persis di kursi dan mejanya dua puluh tahun silam. Anehnya tidak ada tuksedo hitam, tidak ada jas biru langit, atau kemeja berwarna merah. Mereka semua hari ini mengenakan seragam tak berbeda. Di sekitar mereka berdiri beberapa perawat, juga berseragam serupa.

Pria yang duduk paling kanan memandang kosong langit bersih. Sejenak kemudian mukanya berubah merah merona, matanya penuh gairah cinta, berbisik menyamak puisi-puisi sambil mengangkat kedua tangannya. Menyenangkan sekali melihat kegembiraan diwajahnya. Tetapi tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu, meratap panjang dan mengeluh dalam.

Kemudian terdiam lagi memandang kosong langit bersih. Sejenak kemudian mukanya berubah merona merah lagi, matanya penuh gairah cinta lagi, berbisik menguntai puisi-puisi sambil mengangkat tangannya lagi, tiba-tiba menangis tersedu-sedu lagi, meratap dan mengeluh. Berulang-ulang seterusnya.

Tahukah kalian, ia adalah pria pertama kita dua puluh tahun lalu, yang cintanya ditolak mentah-mentah oleh gadis berambur pirang itu.

Pria di sebelahnya disaat bersamaan, paralel, mengepalkan tinju berkali-kali ke udara, memukulmukul kursi dan meja, juga meratap penuh penyesalan, lebih dalam dan amat memilukan. Berkali-kali pria itu ditenangkan oleh perawat. Tetapi percuma, karena sepanjang hari ia hanya bisa menangis, dan menangis, meratap menyalahkan diri.

Hanya lelah jatuh tertidurlah yang bisa menghentikan ratapannya. Dan saat ia terbangun kembali, seperti mobil yang di-starter ulang, ia akan menangis dan meratap lagi. Saat makan pun, satu sendok satu sesunggukan, saat minum pun, satu teguk satu ratapan, saat mandi pun, satu gayung satu sesalan. Begitulah, berulang-ulang sepanjang hari.

Tahukah kalian, ia adalah pria kedua kita, dua puluh tahun silam di tempat yang sama, waktu yang sama, patah hati dengan gadis itu.

Pria yang duduk paling kiri, sementara itu, saat ini sedang dipegangi kukuh oleh tiga perawat, ia dari tadi berusaha menghantam-hantamkan kepalanya ke meja, ke lantai kafe, kemana saja. Ia memaki siapa pun yang mendekatinya, menyumpah-serapah benda-benda yang berada di dekatnya.

Ia memang membenci semua orang, juga apapun yang ada di hadapannya. Baginya semua benda adalah perwujudan gadis itu, termasuk dirinya sendiri adalah perwujudan gadis itu, sehingga berkali-kali ia berusaha membunuh dirinya. Susah sekali tiga perawat itu meringkus pria itu, lantas beranjak memasukkannya ke dalam kerangkeng mobil rumah sakit jiwa.

Tahukah kalian, pria itu ternyata adalah pria ketiga kita, yang dua puluh tahun silam beruntung akhirnya bisa menikahi gadis bermata biru itu.

***

Tetapi yang tidak pernah kalian ketahui, juga oleh orang yang pertama-kali mendengar dan menyaksikan secara langsung kisah ini, apalagi oleh orang-orang yang secara turun-temurun berusaha menceritakan kegilaan ini dan berharap bisa mengerti hakikat waktu dan nasib, ternyata ada kenyataan lain yang tersembunyi: bahwa dalam satu kesempatan lingkaran nasib yang terus menerus berputar itu sebenarnya tidak hanya terdapat tiga kemungkinan.

Sesungguhnya ada empat sekaligus. EMPAT! Paralel, dan kesemuanya bergerak serentak seketika.

Kita memang tidak pernah melibatkan “aku” dalam setiap proses. Begitu juga dengan cerita dari kota terindah itu. Padahal sesungguhnya ada seekor kuda pacuan ke empat yang ikut melaju kencang dalam sirkuit waktu dan nasib bersamaan dengan ketiga pria di kafe itu. Dan kuda pacuan ke empat itu adalah aku.

Aku yang berdiri jauh dari ketiga pria itu. Memandang dari luar kafe, di bawah sebatang pohon pinus. Kemeja lengan pendek berwarna putih, celana panjang berwarna putih, sepatu berwarna putih lengkap dengan kaos kaki putihnya. Di tanganku tergenggam erat sekuntum bunga: bunga bakung putih bersih.

Tepat ketika jam besar itu berdentang sebelas kali, burung-burung merpati sekali lagi kaget terbang kesanakemari. Dan saat itulah, ketika kalian menyaksikan tiga putaran nasib yang luar biasa itu dalam satu hentakan. Anak panahku juga ikut melesat bersamaan. Paralel, bergerak serentak. Tiga nasib pria yang sedang duduk pura-pura itu dan nasib diriku yang berdiri di seberang mereka.

Bersamaan dengan waktu saat ketiga pria itu beranjak mendekati gadis cantik berambut pirang itu. Dengan segala kepengecutan aku justru melangkahkan kaki menjauhi kafe itu. Berpikir picik, takkan mungkin mampu bersaing dengan mereka. Kehidupan gadis itu takkan pernah menjadi milikku. Aku takkan pernah berani, meski sekadar menyapanya sambil lalu, apalagi mengutarakan berjuta gejolak di jantungku. Ia terlalu cantik, terlalu indah, sedangkan aku siapa?

Hari-hari berikut kehidupanku, hanya aku yang tahu persis seperti apa. Yang pasti dua puluh tahun kemudian ketika putaran nasib itu kembali mencapai siklusnya di kota ini, aku bersama dengan ketiga pria itu berada kembali di satu pagi yang cerah musim gugur di kafe taman kota dengan nasibnya masing-masing.

Aku berdiri di bawah pohon pinus itu yang hingga hari ini tak sesenti pun meninggi. Memandang dari luar kafe. Kemeja lengan pendek berwarna putih, celana panjang berwarna putih, sepatu berwarna putih lengkap dengan kaos kaki putihnya. Ditanganku tergenggam erat sekuntum bunga: bunga bakung putih bersih. Dan tahukah kalian, itulah yang kulakukan setiappagi setiap-hari, selama dua puluh tahun hingga hari ini. Tak kurang satu hari pun, tak terlambat satu detik pun.

Apakah nasibku lebih baik dibandingkan kegilaan mereka? Mungkin kalian bisa membantu dengan menilainya berdasarkan ukuran relativitas nasib yang telah kalian sepakati selama ini.






 By: Tere Liye





MMSPH 7: HIKS! KUPIKIR KAU NAKSIR AKU

Ini benar-benar menyebalkan, tabiat Putri mirip banget dengan cewek lain yang sedang jatuh cinta. Selalu membesar-besarkan sebuah kejadian. Tertawa riang saat menceritakan kejadian-kejadian sepele tersebut. Seolah-olah itu pertanda cinta yang sempurna kalau yang sedang ditaksirnya benar-benar juga menyukainya.
Bayangin, cowok itu lagi kentut saja, mungkin bisa diartikan Putri kalau tuh cowok grogi saat ketemu dengannya. Apalagi pas lihat mukanya memerah. Keringatan. “Aduh, aku nggak nyangka dia bakal se-nervous itu, Tin! Kayaknya dia juga suka ke aku, deh!” Mata Putri berbinar-binar macam bintang kejora saat menceritakannya. Padahal kalau Putri mau waras sedikit, jelas-jelas cowok itu sedang kebelet mau ke belakang. Pengin puf! Tapi mana ada coba rasionalitas bagi orang yang sedang jatuh-cinta setengah mampus seperti Putri?
Mungkin ada benarnya juga buku-buku itu bilang. Orang-orang yang jatuh-cinta terkadang terbelenggu oleh ilusi yang diciptakan oleh hatinya sendiri. Ia tak kuasa lagi membedakan mana yang benar-benar nyata, mana yang hasil kreasi hatinya yang sedang memendam rindu. Kejadian-kejadian kecil, cukup sudah untuk membuatnya senang. Merasa seolah-olah itu kabar baik…. Padahal saat ia tahu kalau itu hanya bualan perasaannya, maka saat itulah hatinya akan hancur berkeping-keping. Patah-hati! Menuduh seseorang itu mempermainkan dirinya. Lah? Siapa yang mempermainkan siapa, coba?
Untuk menjelaskan urusan ini, dan agar kalian paham betapa menjengkelkan tabiat Putri selama seminggu terakhir, akan aku daftar berbagai kejadian remeh-temeh yang justru bagi Putri seperti pertanda terbesar dalam kehidupan cintanya. Semoga setelah itu kalian juga bisa membandingkannya dengan tabiat kalian selama ini. Ternyata perasaan itu semua hanya ada di hati kalian doang. Dia? Nggak sedikit pun! Kalian apa mau dikata hanya bertepuk sebelah-tangan, hihi.

***
Kejadian Pertama. Rio. Ganteng? Jangan ditanya.
Rio satu kampus denganku dan Putri. Sejak dulu Putri sudah menjadi penggemar beratnya.
Hanya saja selama ini belum ada kesempatan. Belum ada pemicunya. Jadi ya Putri sebatas pengagum rahasia. Paling hanya celetukan di warung tenda sepanjang jalan depan kostan saat kami makan malam. Hanya itu. Putri belum naksir berat dengan Rio. Sama-lah seperti teman-teman cewek lainnya yang asyik membicarakan cowok keren.
Celakanya, persis seminggu lalu dimulailah seluruh rangkaian kejadian menggelikan ini. Perasaan terpesona Putri tercungkil sudah. Malam itu selepas dari warung tenda, aku dan Putri berkunjung ke Bubu! Kafe buku dekat kostan. Tempat yang asyik buat baca buku. Konsepnya separuh kafe, separuh toko-buku. Cozy. Menyenangkan menghabiskan waktu di sana. Duduk nyaman dengan segelas jus segar. Koleksi mereka nggak sekomplet toko-buku besar, tapi untuk novel-novel pop cukup memadai. Sari teman kostan juga ikut ke Bubu. Malam itu Putri entah mengapa mau saja ikut. Padahal ia paling benci disuruh baca novel. Hidupnya memang selama ini hanya dihabiskan untuk belajar, hihi.
Aku, Sari dan Putri duduk di salah satu sudut ruangan. Lihat, tuh! Sementara aku tenggelam membaca sebuah novel hasil karya pengarang domestik amatiran, Putri asyik mengerjakan PR kuliah! Lengang. Setengah jam berlalu begitu saja.
Dan eng-ing-eng, coba tebak siapa yang datang persis saat jam berdentang 24.00, eh becanda ding, maksudku persis pukul 20.00. Yups! Rio yang mengenakan jeans belel dan kaos putih. Rio yang berbasa-basi dengan penjaga Kafe. Lantas melihat ke sekeliling. Rio yang kemudian melambaikan tangannya kepadaku. Tersenyum lebar.
Biasa saja, kan? Aku kenal baik dengan Rio. Sama seperti Putri juga mengenalnya. Kami jelas-jelas satu kampus? Rio lantas rileks beranjak ke sudut ruangan. Entahlah, mungkin mencari buku yang diinginkannya. Tapi apa yang sedang dipikirkan Putri saat itu, tiba-tiba mukanya bersemu amat merahnya. Aku tidak terlalu memperhatikan.
Satu jam berlalu. Satu jam yang aku pikir juga biasa saja. Tidak ada kejadian penting. Hanya desis suara kipas AC yang terdengar. Aku membawa pulang novel yang baru setengah selesai kubaca. Bubu menyediakan fasilitas pinjam-meminjam. Putri menumpuk kertas PR-nya.
Tapi tahukah kalian apa yang terjadi ketika kami persis tiba di kamar kostan. Putri sempurna mengajakku bicara tentang Rio!  Bertanya banyak hal, berkomentar banyak hal. Rio! Rio! Kemudian di sana-sini terseliplah apa yang tadi kubilang? Ilusi hati yang menipu otak.
“Dia tadi pas masuk melambaikan tangannya ke gw, Tin. Dia tersenyum lebar…. Gw nggak nyangka kalau dia begitu ramah. Aku pikir orangnya sombong!”
Aku hanya mengangkat bahu. Well, siapa pula yang bilang Rio sombong? Cowok yang baik. Siapapun juga akan lazim melambaikan tangan satu-sama lain, kan? Biasa saja!
“Lu tahu nggak, Tin, satu jam terakhir di Kelambu, Bambu, eh Bubu ya namanya? Dia sering banget ngelihat ke meja kita. Gw malah sempat bersitatap dengannya satu kali. Dia tersenyum lebaaar banget….”
Well, itu juga biasa saja, kan?
“Eh, nggak sekali deh Tin…. Dua-eh kayaknya lebih dari dua kali! Duh, tampannya….” Muka Putri mulai memerah.
Aku menatapnya penuh selidik (waktu itu sih aku belum sejengkel sekarang melihatnya). Tertawa lebar.
“Lu naksir Rio, ya?” Menggoda.
Putri melemparku dengan bantal guling.
“Kenapa ya dia sering banget ngelirik ke meja kita tadi?” Putri mematut-matut. Menatap langit-langit kamar kostan.
“Itu kan perasaan lu dong, Put!”
“Nggak, kok. Beneran….” Putri ngotot.
“Yaaa, lagian biasa saja, kan. Nggak selamanya orang baca selalu melotot ke bukunya. Lu juga sering sekali-dua rileks menatap sekitar….” Aku memungut guling yang jatuh.
“Tapi ini beda, Tin. Gw kan tahu mana lirikan yang tidak sengaja, mana yang disengaja….” Putri bersemu merah.
Aku mengangkat bahu. Sudah larut. Malas melanjutkan percakapan. Aku juga malas memikirkan kelanjutan obrolan kami. Paling hanya percakapan iseng untuk yang ke sekian kalinya. Tapi apa daya, tanpa kusadari, malam itu perasaan Putri ke Rio sempurna tercungkil sudah.

***

Kejadian Kedua. Malam berikutnya Putri semangat banget berkunjung ke Bubu. Menyeretku. Aku hanya tertawa kecil. Sari, teman kami satu kostan lainnya ikut lagi, pengin balikin buku.
Sepanjang perjalanan Putri berkali-kali bilang soal, semoga Rio ada di sana. Bertanya lagi tentang Rio. Berkomentar lagi tentang Rio. Rio! Rio! “Eh, gw yakin banget bakal ketemu dia, kok! Kalian kok sirik banget, sih!” Putri menjawab sebal saat aku dan Sari menggodanya tentang penderita psikis obsesif yang sok-tahu.
Dan benar saja, Rio ada di sana. Lagi-lagi tersenyum lebar dan melambaikan tangan. Aku pikir Putri agak berlebihan membalas senyum dan lambaian itu. Tapi sudahlah.
Malam itu jadwal bacaku dua jam di Bubu mendadak berubah amat menyebalkan. Aku, Sari dan Putri duduk satu meja. Putri berkali-kali menyikut lenganku setiap kali Rio menatap meja kami. Aku terpaksa mengangkat kepala, melihat Rio yang mengangguk ke meja kami. Aku ikut tersenyum, basa-basi membalas anggukan.
Dan itu benar-benar jadi ‘bahan pembenaran’ ilusi Putri kalau Rio memang sengaja atas berbagai lirikan tersebut saat kami kembali ke kostan.
“Apa yang aku bilang semalam, dia memang sengaja melihat ke meja kita, kan. Dia memang sengaja melirik gw?” Putri berkata antusias. Pipinya merona. Membayangkan kemungkinan terindah yang ada di benaknya.
“Biasa saja lagi, Put…. Lu aja yang keseringan ngelirik dia…. Jadi dia reflek mengangkat kepalanya. Siapapun yang sedang diperhatikan pasti reflek menoleh ke orang yang sedang menatapnya, kan? Itu logis! Rio hanya merasa lu terlalu sering memperhatikannya. Jadi dia juga sering melirik lu…. Mahasiswa psikologi tahun pertama saja tahu analisis aksi-reaksi sederhana seperti itu, Non!” Aku mengangkat bahu, pura-pura tidak memedulikan.
“Lu kenapa sih nggak suka lihat teman senang?” Putri melemparku lagi dengan bantal. Sebal.
Aku tertawa.
“Lagi pula lu lihat sendiri apa yang gw bilang soal Rio pasti ada di Kelambu, eh, Bambu, eh Bubu tadi. Benar, kan? Dia ada di sana! Dia pasti sengaja menyempatkan datang buat bertemu lagi, kan. Sama seperti…. Eh, maksudku sama seperti kita!” Putri bersemu merah.
Aku tertawa lebih lebar. Maksud Putri sebenarnya sama seperti dirinya yang maksa-maksa datang lagi ke Bubu. Lazimnya kalau kalian memang ditakdirkan berjodoh, terus ada feeling satu-sama lain saat pertama kali bertemu, esok-lusa kalian biasanya akan memaksakan diri untuk kembali ke tempat pertemuan pertama. Itu lumrah. Seperti ada sesuatu yang mengendalikan perasaan kalian. Tapi kasus Putri beda banget.
Aku malas menjelaskan kalau sebenarnya Rio memang setiap malam berkunjung ke Bubu. Bahkan jauh-jauh hari sebelum aku terbiasa datang ke sana (juga) setiap malam. Tapi malam itu aku tak bisa berhenti berpikir. Jangan-jangan Putri benar. Tidak biasanya Rio melirik ke meja tempatku duduk selama ini, kan? Jangan-jangan dia naksir….
Jelas-jelas pasti bukan naksir Putri…. Aku mengusir jauh-jauh kemungkinan itu.

***

Kejadian Ketiga. Malam berikutnya. Seperti yang kalian duga, aku dan Putri kembali berkunjung ke Bubu. Kali ini dengan semangat pembuktian. Tadi sepanjang siang aku menggodanya: “Itu hanya perasaan lu dong, Put!” Dan Putri yang marah, mengajakku untuk membuktikannya malam ini.
Yups! Rio sudah duduk rapi di meja seperti biasanya. Dan dua jam itu benar-benar berubah menjengkelkan bagiku. Putri menyikut, menginjak kaki, mencubit, bahkan hampir menarik rambutku setiap kali melihat Rio melihat ke meja kami.
“Biasa saja dong, Put!” Aku mendesis bete.
“Dia ngelihatin gw, tuh!” Putri berbisik dengan wajah sempurna merah.
“Gimana dia nggak akan balik ngelihatin lu, kalau lu nggak sedetik pun berhenti menatapnya….” Aku menjawab mengkal.
Rio di seberang meja menganggukkan kepala. Tersenyum. Aku pura-pura ikut tersenyum. Basa-basi melambaikan tangan.
“Bisa nggak sih lu bersikap biasa saja? Rio mungkin saja risih dengan kelakuan lu yang menatapnya terus!” Aku menarik tangan Putri yang melambai ‘genit’.
Putri hanya mendesis. Mencubit pahaku. Ampun, dah! Lumrah kan kalau Rio berkali-kali menatap Putri. Lah, Putri ‘melotot’ tak henti melihatnya. Malam itu aku mulai jengkel.
Celakanya, saat kami beranjak pulang (aku lama membujuk Putri agar mau pulang), Putri tidak sengaja meninggalkan selembar berkas PR-nya di meja. Rio berseru memanggil saat kami hampir tiba di pintu keluar Bubu.
“Kertasnya ketinggalan, Put!” Rio tersenyum.
“Eh…. Eh-iya, lupa….” Putri sedikit salah-tingkah.
“Kan repot kalau gw mesti antar kertas ini ke kostan lu…. Gw kan nggak tahu kostan lu….” Rio tertawa lebar.
Putri mendadak gagap menjawabnya. Menerima kertas itu dengan tangan sedikit bergetar. “Makacih….” Berkata pelan.
Aku sudah menariknya buru-buru. Sebelum Putri melakukan hal-hal yang memalukan, hihi. Dan Putri benar-benar buncah saat kami tiba di kamar kostan.
“Apa lagi coba maksudnya. Jelas-jelas dia nanya alamat kostan gw, kan?” Putri berseru riang, sibuk ‘menganalisis’ kejadian sekaligus kalimat Rio barusan.
“Kenapa lu nggak sebut saja alamatnya tadi? Biar dia bisa ngelihat kelakuan aneh lu sekarang!” Aku menjawab malas. Masa’ sih kalian bisa menyimpulkan kalimat Rio tadi sebagai tanda: boleh aku tahu alamat rumahmu?
“Dasar anti-sosial!” Putri menimpukku dengan bantal, “Lu, emang nggak pernah senang lihat orang lain bahagia, Tin! Bukannya lu tadi yang narik gw buru-buru pergi!“
Aku tertawa lebar. Come-on! Jelas-jelas kalimat Rio barusan nggak ada maksudnya! Hanya bergurau. Bagaimana mungkin Putri menganggapnya se-serius itu?
Malam itu aku lebih banyak lagi berpikir. Rio tahu nama Putri? Jangan-jangan apa yang disangka Putri benar, Rio naksir Putri. Aku mengumpat langit-langit kamar. Itu tidak mungkin. Jelas-jelas maksud kalimat Rio tadi ke aku, kan? Hanya saja ia merasa jauh lebih nyaman kalau menyampaikannya lewat Putri. Aku tersipu malu. Melempar guling sembarangan….

***

Kejadian Keempat. Kali ini benar-benar membuatku jengkel sekaligus bingung. Hari keempat. Itu persis hari ulang-tahun Putri. Malam itu kami tidak ke Bubu, meski Putri sengotot apapun hendak pergi ke sana. Lagi pula Putri memang tidak merencanakan pergi ke sana.
Kami merayakan ulang-tahun Putri di salah-satu warung tenda yang banyak memadati sepanjang jalan. Soto Konro. Aku, Sari dan beberapa teman sekostan ramai memenuhi meja panjang. Putri yang traktir. Sepanjang makan kami bukannya bilang terima-kasih, kami justru sibuk menggoda Putri dengan gumpal perasaannya itu. Putri mengkal banget saat aku lagi-lagi bilang tentang itu hanya perasaannya doang. Dan semua teman yang lain mengamini-ku.
Putri mendesis kalau ia dan Rio memang benar-benar ada feeling satu sama lain saat bertemu di Bubu. Aku tertawa lebar. Teman-teman yang lain ikut tertawa. Tetapi, astaga! belum habis tawa-ku, belum lenyap suara riuh-rendah itu, entah bagaimana penjelasannya, Rio mendadak muncul di warung tenda itu. Dengan jaket tebal keren. Sek-si!
“Hei…. Allo semua…. Eh, kalian sedang ada di sini? Lagi kumpul semuanya? Kebetulan banget.” Rio tersenyum amat gagah-nya. Membuat keributan terhenti sejenak.
Dan kalian bisa membayangkan apa yang terjadi malam itu di kamar kostanku. Aku kehabisan peluru untuk memutar balik semua kalimat Putri.
“Itu kebetulan, Put! Kan Rio juga bilang kebetulan—” Aku mulai putus asa.
“Sengaja, Tin! Nggak mungkin dia kebetulan doang datang ke tenda itu tadi, semua orang di planet ini juga tahu kalau gw ulang-tahun malam ini….” Putri memotong, tersinggung.
“Oke sengaja…. Tapi belum tentu juga pengin nemuin lu, kan? Bisa jadi sengaja ingin bertemu dengan orang lain—“
“Siapa?” Putri memotong galak.
Aku terdiam menggigit bibir.
Putri menatapku tajam. Menyelidik.
“Ah— Gw ngerti kenapa lu selama ini selalu membantah seluruh kalimat gw…. Lu juga naksir Rio, kan? Ayo ngaku!” Putri mendadak tertawa.
Aku buru-buru menggeleng. Meski muka bersemu merah.
“Ayo ngaku, Tin! Lu juga naksir dia, kan? Aduh, Tina cayang…. Kacian…. ternyata Rio naksir gw…. Jangan patah-hati ya….” Putri tertawa amat lebarnya. Senang dengan fakta baru tersebut. Malam itu aku yang menimpuk Putri dengan bantal guling. Menyebalkan.

***

Kejadian Kelima. Dan sejak malam ulang-tahun Putri, tidak ada lagi diskusi menarik antara aku dan Putri soal Rio. Aku bukan hanya semakin jengkel dengan laporan Putri atas hal-hal sepele yang seolah-olah pertanda cinta terbesar miliknya. Aku juga semakin jengkel karena Putri balas membalik kalimatku, “Lu nggak terima ya kalau Rio ternyata beneran naksir aku?”
 Dan kalimat itu sungguh membuatku salah-tingkah. Baiklah, kuakui saja kalau aku memang naksir Rio. Tapi setidaknya aku masih bisa berpikir logis. Mana yang sebenarnya pertanda cinta, mana yang hanya sekadar kebetulan, dialog biasa, atau sejenisnyalah! Aku juga berharap selama ini Rio akan memberikan pertanda isi hatinya, tapi bukan berarti aku akan ngarang-ngarang pertanda itu. Membiarkan hati membuat ilusi. Membiarkan hati menyimpulkan hal keliru (yang aku tahu benar itu semua semu). Putri hanya tertawa cekikikan saat aku mati-matian membela diri dan menjelaskan teori itu.
Aku mengumpatnya sebal. Semoga Putri tidak sakit-hati saat tahu kalau sebenarnya segala lirikan Rio, senyuman Rio, dan juga pertemuan tidak sengaja di ulang-tahunnya itu sebenarnya untukku. Bukan untuknnya. Aku berseru jengkel. Putri malah bertingkah semakin menyebalkan.
Maka datanglah kejadian kelima itu. Yang benar-benar membuat Putri menyadari kalau ia selama ini keliru. Tadi pagi aku dan Putri bertemu Rio di kampus. Seperti biasa aku pikir Putri berlebihan bersikap. Kami membicarakan urusan biasa-biasa saja. Kuliah, dosen, dan sebagainya. Yang aku yakin nanti bisa-bisanya Putri menterjemahkannya jadi luar-biasa.
Tapi kali ini Putri tidak berkesempatan lagi. Entah mengapa pembicaraan mendadak menyinggung konser musik esok-malam di JHCC. “Aku punya dua tiket, lu mau ikut?” Rio menunjukkan dua tiket miliknya.
Putri semangat banget mengangguk.
Ya ampun, yang diajak ternyata aku. Senyap menggantung. Tamat sudah riwayatnya. Aku tidak tahu harus bilang apa saat Rio mengajakku. Apakah aku bahagia? Apakah aku sedih? Lihatlah, Putri hanya terdiam sepanjang sisa pertemuan di kampus. Malamnya juga mengurung diri di kamar. Patah-hati. Aku memutuskan untuk tidak pura-pura sok-baik bersimpati padanya malam ini. Lihatlah, saat ilusi itu terkena cahaya kebenaran yang tersisa hanyalah kesedihan. Sendu. Besok-besok kalau sempat aku akan membujuknya untuk melupakan seluruh perasaan itu.
Rio mengajakku nonton? Nah, kalau itu jelas sudah pertanda cinta yang luar-biasa. Itu benar-benar menjelaskan kenapa ia selalu tersenyum dan melambai setiap melihatku di Bubu. Selalu sembunyi-sembunyi menatap meja bacaku. Juga datang sengaja ke ulang-tahun Putri. Itu menjelaskan semuanya….
Aku bersenandung riang memikirkan hal tersebut.

***

Esok malamnya. Aku menyiapkan gaun terbaik. Berdandan semenarik mungkin. Lantas riang menuju jalanan depan kostan. Menunggu Rio menjemput di depan Bubu. Putri menatapku dengan mata terluka dari balik jendela. Entahlah! Aku tidak sempat memperhatikannya.
Rio seperti biasa tersenyum lebar menemuiku. Gagah sekali. Dan Sek-si. Aku benar-benar bangga bersanding bersamanya. Inilah yang disebut dengan sebenar-benarnya pertanda cinta. Bukan bualan hati yang mereka-reka. Rio melambai memanggil taksi biru. Kami melaju menuju JHCC. Bukan main. Ini akan jadi kencan yang hebat.
“Tin, aku boleh tanya sesuatu, nggak?” Rio memutus senyum manyunku. Dia menatapku sambil tersenyum lebar.
Aku mengangguk (cepat). Tersipu malu. Sesuatu?
“Tapi kamu jangan tertawa, ya?” Rio bersemu merah.
Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku mentertawakannya. Aku semakin buncah oleh perasaan menunggu. Akhirnya—
Hening sejenak. Rio mematut-matut apa yang akan dikatakannya. Aku tertawa melihat muka tegangnya.
“Tuh, kan…. Kamu sudah tertawa duluan!”
“Sorry…. Nggak deh. Aku nggak akan tertawa!”
Rio mengusap wajahnya yang berkeringat.
Aku menunggu dengan hati berdebar-debar.
“Eh…. Ergh…. Sari tuh sudah punya pacar belum?”
Seketika aku mematung.
“Sa-ri?”
“Ya, Sari…. Satu kost sama lu dan Putri, kan?”
Seketika luntur seluruh kebahagiaan itu.
Kepalaku mendadak pusing. Berkunang-kunang. Aku sungguh tidak bisa mendengarkan lagi kalimat Rio berikutnya.
“Tin, aku sudah lama banget naksir Sari. Tiga hari lalu waktu lihat lu, Putri dan Sari di Bubu, aku nggak bisa menahan diri untuk berhenti meliriknya…. Menatap wajah cantiknya…. Aku dari dulu sudah mau nanya-nanya ke lu, tapi selalu cemas lu bakal ngetawain…. Sayang, pas gw bilang nggak tahu kostan Putri di mana, lu nggak mau jawab, malah kabur….
Kepalaku semakin pusing…. Ternyata, ini semua maksudnya….
“Waktu Putri ulang-tahun aku juga sengaja datang, Tin…. Biar ketemu Sari…. Ampun, kenapa gw jadi malu-maluin gini, ya? Harusnya gw bisa ngajak Sari ngobrol langsung malam itu, kan…. Tapi sudahlah…. Malam ini gw ngajak lu nonton konser sebenarnya pengin nanya-nanya soal Sari…. Lu nggak keberatan kan, Tin?”
Aku tidak lagi mendengarkan kalimat Rio. Aku sudah terkapar di atas kursi mobil taksi. Ilusi itu! Ya Tuhan, aku sempurna tertikam oleh ilusiku sendiri. Pengkhianatan oleh hatiku yang sibuk menguntai simpul pertanda cinta.
Putri! Hiks! Ternyata kita senasib….







 By: Tere Liye

MMSPH 6: BILA SEMUA WANITA CANTIK!


Alkisah, ada anak super-gendut yang selalu diganggu teman-temannya. Setiap hari diteriaki, “Gendut! Gendut! Badak! Badak!” Anak itu menangis. Tersedu. Berlari menjauh dengan gelambir lemak di perut. Mengadu. Ibu-nya bilang tentang, “Jangan marah. Jangan diambil hati. Mereka hanya bergurau. Besok juga berhenti!” Tetapi esok-lusa kelakuan teman-temannya tak pernah kunjung reda. Berbilang hari malah menjadi-jadi. Cubit sana. Cubit sini. Maka semakin sering bersedihlah anak itu.

Hingga suatu malam, di tengah senyapnya gelap, sang anak mengangkat kedua tangannya, tengadah ke langit buram, “Ya Tuhan, kurus-kan-lah aku. Aku mohon….” Anak itu menangis tersedu, bersimpuh penuh harap, “Atau kalau Kau tidak berkenan membuatku kurus, maka buatlah gendut seluruh teman-temanku…. Aku mohon! Biar kami sama…. Biar kami sama….”

Maka malam itu, sempurna sudah langit terbolak-balik. Do’a itu bagai melempar sebutir dadu dengan seluruh enam sisinya sempurna bertuliskan kata: Amin!

Vin tertawa lebar, bahkan sebelum Josephine sempat menyelesaikan ceritanya. Hampir tersedak oleh makanan, buru-buru meraih gelas orange-juice, minuman favoritnya.

“Nah, lu bisa bayangin kan kalau semua teman-temannya gendut! Mana asyik lagi coba hari-hari mereka. Tidak ada saling olok satu sama lain. Tidak ada saling ejek. Hambar, persis seperti steak ini!” Jo nyengir, ikut menahan tawa sambil malas mengiris-iris daging sapi di hadapannya.

“Tapi itu tetap tidak menjelaskan masalahnya….” Vin meletakkan gelas, lantas memperbaiki anak rambut yang mengenai ujung-ujung mata. “Analogi yang buruk! Buruk banget malah!”

“Lah, come-on! Bukankah itu menjelaskan semuanya. Lu pikir semua orang di dunia ini akan cantik? Akan seksi? Nggak, kan? Pasti ada yang tidak cantik, kurang seksi—”

“Ya seperti kita-kita ini.“ Vin memotong pelan.

“Lu selalu berpikiran negatif. Selalu pesimis. Lagian siapa bilang lu tuh jelek?”

Vin menyeringai tanggung. Jelek? Kalau saja Jo bukan teman baiknya, cerita Jo yang nyebut-nyebut gelambir lemak di perut tadi sudah jadi alasan baik untuk menjitaknya.

“Gw nggak pesimis, Jo…. Tiga puluh tahun hidup di dunia ini…. Tiga puluh tahun menjejak semua proses kehidupan…. Meski tiga puluh tahun itu juga tak satu pun cowok melirik lu…. Tidak pernah menemukan cowok yang menganggap lu exist! Menganggap lu ada di dunia ini…. Well, jadi bagaimana mungkin gw akan pesimis, kan?” Vin tertawa kasar.

Josephine meletakkan pisau dan garpu. Putus asa. Satu, untuk bumbu daging steak yang memang hambar. Dua, untuk kalimat sinis bin sarkas dari Vin barusan. Urusan ini lama-lama sedikit menyebalkan. Ia mengenal benar tabiat Vin. Ia berteman baik dengan Vin sejak dua belas tahun silam. Dipertemukan tidak sengaja di salah-satu acara. Pesta perpisahan sekolah. Prom-night! Cepat sekali akrab.

Bagaimana tidak? Mereka berdua hanya jadi penonton di acara tersebut. Memandang sirik cewek-cewek berpakaian seksi berlalu-lalang bersama pasangan. Ratu-pesta? Tidak masuk kamus mereka, kecuali ada nominasi baru yang dibuat khusus dalam penghargaan tersebut, seperti, ‘best-badut-custome’! Jadi mereka saling menyapa kaku di pojok ruangan sepanjang sisa acara. Saling menjulurkan tangan. Berkenalan. Lantas berusaha mengisi malam dengan ngemil makanan yang berserak.

Dua belas tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari pertemanan mereka. Vin tingginya hanya bertambah dua senti, celakanya yang bertambah banyak justru volume dan lebar-nya. Tidak proporsional. Sedangkan Jo? Sama buruknya, semakin jerawatan, tubuhnya ringkih, muka tirus, rambut keriting tak-tertolong. Benar-benar dua sahabat yang menarik untuk dilihat. Tadi saja pelayan kafe tega mengabaikan, seperti tak melihat mereka duduk di situ.

Masalahnya, berbeda dengan Jo yang tumbuh lebih dewasa, mapan dengan karir, cerdas dalam pekerjaan, Vin semakin tenggelam dalam mimpi-mimpi cinderella masa kecilnya dulu. Bagi Jo, ada atau tidak ada cowok yang melirik mereka, ada atau tidak ada cowok yang jatuh hati kepada mereka, itu tidak penting. Hidup ini tetap indah meski tanpa kehidupan percintaan yang mengharu-biru. Tapi bagi Vin tidak. Ia bosan dengan kesendiriannya. Bosan dianggap tidak ada oleh cowok-cowok. Celakanya Vin justru mengidolakan cowok terkeren kota ini. Teman satu kantornya.

Maka belakangan, setiap kali mereka bertemu, semakin seringlah Vin mengeluhkan soal itu. Bertanya hal-hal prinsip seperti, “Apakah wajah itu penting saat kau jatuh cinta?” “Bukankah banyak yang bilang, karakter nomor satu, fisik nomor dua?” Bahkan kadang berteriak sebal tentang: “Omong kosong! Semua itu bohong! Siapa bilang kita selalu terlahir dengan takdir jodoh bersama kita? Itu hanya untuk membesar-besarkan hati saja!” Kemudian menutup pembicaraan dengan keluh-kesah-resah.

Seperti malam ini. Di SkyCafe! Kafe yang memiliki slogan, “Kamilah kafe tertinggi di kota ini!” Memang benar slogan tinggi itu. Kafe ini persis di atas gedung tertinggi. Tapi soal menu dan rasa makanan, Jo sejak tadi malah mendesis dalam hati, tidak akan pernah datang lagi. Dan Vin sibuk berkeluh-kesah lagi.

“Lihatlah! Cowok-cowok itu seperti laron mengelilingi gadis cantik di meja besar itu. Semua berebut seperti anak kecil yang dijanjikan permen. Menyebalkan!” Vin mengkal menunjuk kerumunan di sudut ruangan.

Jo tertawa kecil. Menatap keramaian yang membuat sirik Vin tersebut. Bahkan, hei! Erik Tarore, cowok tampan idola satu kantor Vin ikut mengerubung. Pasti itu yang membuat Vin tambah keki.

“Gw pikir hidup gw akan sepi selamanya…. Selamanya….” Vin pelan mengaduk-aduk minumannya. Nelangsa.

Jo menatap prihatin, nyengir, “Yaaa, lu kan sudah terbiasa menjomblo selama tiga-puluh tahun, jadi gw yakin lu pasti bisa terus menjomblo selama tiga puluh tahun lagi!”

Mereka berdua tertawa. Getir.

“Tapi yakinlah, Vin, tak selamanya lu pikir menjadi cantik dan seksi itu menyenangkan….” Jo menghentikan tawanya.

Vin mengangkat bahu. Tidak terlalu tertarik dengan kalimat Jo barusan. Setiap kali mereka bertemu, sebulan terakhir, Jo selalu bilang soal itu. Mencoba membesarkan hatinya. Percuma. Omong-kosong. Ia sudah tak percaya lagi.

“Cantik itu kan hanya terlihat dari luar, Vin…. Coba lu lihat kafe ini, keren banget, kan? Tapi makanannya? Masih mending warung sate di perempatan depan kantor lu! Jadi seperti lu, dari luar sih kumuh, nggak higienis, tapi dalamnya? Wuih! Legit!”

Tertawa lagi. Semakin getir.

“Atau seperti teman-teman kita yang gw ceritakan minggu lalu…. Friska bercerai dengan suaminya, Mitha ketahuan berselingkuh, Lala berapa kali coba disakiti pacarnya…. Si Uthi nyandu,” Jo menghitung jari, “Kurang apa coba mereka? Cantik! Tapi kehidupan mereka tidak menyenangkan. Mending seperti lu, kan? Sendiri tapi hepi! Jomblo tapi bahagia.”

Vin mengangkat bahu. Ia memang bahagia dengan hidupnya (sepanjang tak ada hubungannya dengan cowok). Tapi kesendirian ini menyesakkan. Vin semakin malas mendengarkan ceramah Jo. Ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Sesuatu….

“Lu pikir menjadi cantik itu menyenangkan, Vin? Sama sajalah! Bahkan dalam banyak kasus malah menyebalkan…. Lu mesti rajin merawat diri. Peduli benar dengan penampilan tubuh setiap inchi-nya, setiap mili-nya…. Lagi pula menurut penelitian bahaya pelecehan seksual yang mengancam wanita yang terlihat menarik lima kali lipat lebih tinggi dibandingkan wanita yang terlihat biasa-biasa saja…. Bisa dimengerti sih, siapa pula yang tertarik untuk iseng ke kita-kita?” Jo tertawa, melambaikan tangan ke pelayan, meminta bon tagihan.

Vin tetap tidak terlalu memperhatikan, ia semakin sibuk dengan sesuatu yang sedang dipikirkannya.

“Mereka pasti memiliki masalah dengan kecantikannya, sama seperti kita yang memiliki masalah dengan penampilan kita…. Masalahnya kita tidak pernah dalam posisi mereka, kan? Tidak pernah dalam posisi orang-orang yang dicemburui. Percaya nggak, terkadang mending kita dalam posisi yang mencemburui dibanding sebaliknya, tapi kita tidak pernah tahu. Anyway, dengan tidak tahunya, tidak mesti kita merasa kehidupan mereka lebih oke, kan?” Jo menyerahkan kartu-kredit ke pelayan yang mendekat.

“Lagi pula ukuran cantik-jelek itu relatif, Non! Karena cowok-cowok itu bersepakat cantik dan seksi itu harus ramping, perut datar, mata hitam menggoda, rambut seperti ini, kulit harus putih, bibir mesti merah, mesti sensual, dan seterusnya maka cewek otomatis harus seperti itu untuk dibilang cantik. Coba kalau cowok-cowok bersepakat cantik itu gendut, pendek, hitam, keriting, lu kan bisa masuk kriteria cantik banget, Vin…. Ah-sudahlah, yuk!” Jo berdiri setelah menerima kembali kartu-kreditnya. Tidak tega melanjutkan gurauan. Lihatlah Vin sudah mengusap matanya. Nah-loh, daripada seperti minggu lalu Vin nangis-sedih gara-gara kalimatnya, mending buru-buru pulang.

Vin mengangguk. Berdiri lemah mengikuti Jo. Matanya kelilipan. Tidak. Tentu saja Vin tidak ingin menangis seperti minggu lalu. Selepas makan dan ngobrol bareng Jo malam ini, hatinya tidak sesedih minggu-minggu lalu. Ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Dan itu memberinya semangat.

***

Malam itu langit terlihat amat buram. Bintang sempurna terusir awan kelam. Rembulan sabit bersembunyi malu. Langit pekat. Angin mendadak takut bertiup. Sepi. Seluruh kehidupan seperti sedang tertidur lengang. Di lantai dua sebuah rumah, jendelanya memang sudah redup, tapi penghuninya sedang takjim menatap langit luar. Penghuninya adalah Vin.

Vin yang mengangkat kedua-belah telapak tangannya. Inilah yang dipikirkannya sepanjang sisa malam. Sesuatu itu…. Vin yang berkata lirih! Sedang khidmat berdoa.

“Ya Tuhan, buatlah aku cantik…. Aku mohon!” Vin bersimpuh penuh harap, “Atau kalau kau tidak berkenan membuatku cantik, maka buatlah seluruh wanita di dunia ini se-jelek diriku….” Satu tetes air mata Vin mengalir di pipinya yang tembam. Air-mata penuh pengharapan. Meluncur deras ke atas kasur.

Persis saat air itu menerpa seprai putih, persis saat bulir air itu meresap di lembutnya seprai, saat itu petir mendadak menyambar menggetarkan hati. Guntur menggelegar. Angin kencang membungkus langit. Langit sempurna terbolak-balik. Malam itu, doa Vin bagai melempar sebutir dadu dengan seluruh enam matanya sempurna bertuliskan kata: Amin.

***

Vin bangun pagi dengan perasaan segar!

Mandi lama-lama. Duduk di atas toilet lama-lama. Ritual paginya yang hebat. Sebenarnya hanya duduk doang. Manyun menatap pintu kamar mandi. Setengah jam kemudian mengenakan blouse kerja terbaiknya. Dulu ia berpikir, pakaian bisa membuat seseorang terlihat lebih cantik. Sayang, otak negatifnya juga sudah lama sekali membuat kesimpulan: Kalau dasarnya orang itu nggak cantik, maka mau dikasih permata lima ton tetap saja tidak akan menarik (kecuali permatanya). Iklan-iklan sabun mandi, shampoo, lotion, dan apalah itu bohong! Jelas-jelas modelnnya memang sudah cantik dari sono-nya. Dikasih baju robek seadanya juga tetap cantik. Puh!

Tapi hari ini Vin lagi hepi. Tidak peduli ketika kepalanya membenak hal buruk berkali-kali. Berangkat kerja dengan semangat. Ditegur adiknya di ruang tengah. Hei! Ada yang berubah? Matanya mendadak melihat sesuatu yang ganjil. Entahlah! Bertemu Mama di meja makan. Hei? Bukankah Mama-nya sungguh terlihat beda!

Vin malas berpikir. Menjepit tas kerjanya. Naik feeder-bus yang selalu on-timeman-na gigi kuning berlapis kawat logam itu? berkeliling di komplek perumahan. Hei! Hei! Mengapa semua orang terlihat sungguh berbeda sepagi ini? Lihatlah! Sopir bus (sopir pertama wanita) yang selama ini hanya menatap dingin dibalik kaca-mata hitam kebesarannya sekarang tersenyum renyah. Memamerkan gigi putih yang cemerlang. Di

Penumpang bus? Hati Vin mendadak mencelos. Seperti sebatang besi panas dicelupkan ke dalam seember air es. Atau seperti Vin yang sedang ketangkap basah mencuri pandang Erik (dengan tatapan 100 watt penuh penghambaanbegitu… begitu cantik. Can-tik? Yaps! Bukan main…. itu). Apa yang terjadi? Bagaimana mungkin? Hati Vin tiba-tiba menggigil. Sungguh, seluruh penumpang cewek bus terlihat

Bukankah adiknya yang tidak kalah gendut dengannya juga terlihat cantik tadi pagi? Mama-nya yang seperti paus biru terlihat laksana artis umur dua puluh tahunan? Singset? Apa yang terjadi. Mata Vin mendadak berkunang-kunang. Doa itu? Apa doa semalam itu manjur? Tapi kenapa jadi begini? Bukankah ia berdoa sebaliknya? Kenapa semua wanita pagi ini mendadak terlihat begitu cantik. Atau jangan-jangan. Ia juga berubah….

Jangan-jangan…. Vin buru-buru bangkit dari duduknya. Berlari ke depan dengan semangat. Itu sungguh akan jadi kabar yang menyenangkan…. Vin berlari ke arah cermin di atas kepala sopir bus (yang lazim dipakai untuk melihat situasi di belakang bus). Menatap wajahnya penuh antusiasme. Tapi ia terpaku. Seketika. Bagai batu pualam. Ya ampun? Ini pasti ada kesalahan. Vin gemetar memegang tiang besi.

Ini benar-benar kesalahan besar. Lihatlah sepagi ini. Di atas bus, di trotoar jalanan, di lobi gedung, di dalam lift, di layar kaca (Vin yang tidak percaya menghidupkan teve), seluruh gadis di dunia mendadak berubah cantik. Sempurna! Sempurna seperti Vin membayangkan kecantikan itu sebagaimana-mestinya. Cleaning service yang rutin pagi-pagi mengantarkan minuman untuknya, mbak-mbak yang cerewet dan jelek itu saja sekarang berubah sintal dan menggairahkan.

Ibu-ibu peminta-minta yang sering Vin temui di jembatan penyeberangan bahkan terlihat seperti model-super-hot. Vin jengah menatapnya, dengan pakaian seadanya yang robek di sana-sini, pengemis itu seperti sedang pose menggoda untuk majalah pria dewasa. Memamerkan pahanya yang putih-mulus (meski tangannya tetap terjulur sambil berkata lirih, “Recehnya, Mbak! Sudah dua hari tidak makan”). Aduh, semua ini benar-benar membingungkan….

Dan yang amat menohok bagi Vin, ketika seluruh gadis terlihat cantik pagi ini, kenapa ia seujung kuku pun tidak berubah? Vin menggigit bibir di depan komputernya. Hampir sejam berlalu Vin hanya mematung di meja kerja. Berusaha sembunyi dari kerumunan gadis-gadis yang mendadak begitu bahagia melihat wajah dan tubuh baru mereka. Ya Tuhan! Bukankah doanya semalam tidak seperti ini? Bukankah ia bilang kalau Tuhan tidak mau membuatnya cantik, maka buat jelek-lah seluruh wanita di muka bumi ini. Tapi sekarang? Semua malah terlihat cantik, kecuali dirinya….

Apakah langit kejam sekali padanya….

Vin tersungkur dengan hati pilu.

***

Seminggu berlalu. Jadwal pertemuan berikutnya dengan Jo.

Vin sepanjang minggu enggan sekali menelepon Jo. Ia malah cemas bertemu dengan Jo. Amat cemas. Bagaimana mungkin ia siap bertemu dengan Jo setelah apa yang terjadi? Bertemu dengan teman-teman sekantornya, Mama, adiknya, dan gadis mana pun Vin malu. Dulu saja Vin sudah terlihat berbeda dengan tubuh gendut dan muka lebarnya. Sekarang? Dengan seluruh kecantikan yang mendadak menjejali seluruh kota, maka tubuhnya terlihat semakin berbeda.

Ini semua benar-benar nyata. Seperti kalian yang bisa menyentuh tulisan ini. Setiap wanita terlihat begitu cantik. Bumi seperti diisi sejuta bidadari. Kalian bayangkan di pasar tradisional yang becek. Sempurna pasar itu diisi oleh ibu-ibu yang cantik sedang berbelanja. Guru-guru yang cantik di sekolah. Suster-suster yang cantik di rumah-sakit. Pengunjung yang cantik di pusat-perbelanjaan. Penumpang yang cantik di kendaraan umum. Semuanya cantik. Hanya cowok-cowok itu saja yang tidak berubah sedikit pun. Tetap seperti sebelumnya. Dan cowok-cowok itu terlihat bahagia sekali dengan seluruh kecantikan ini. Bagaimana tidak? Tiba-tiba kalian menemukan istri yang begitu manisnya saat bangun tidur? Mengusap mata, khawatir salah kamar malam ini.

Dunia benar-benar terlihat jadi lebih indah seminggu terakhir. Tapi tidak bagi Vin. Hidup semakin menyakitkan baginya. Ia bolos kerja. Buat apa? Hanya menjadi bahan tertawaan. Ditatap dengan tatapan merendahkan (bahkan dari ibu-ibu cleaning service yang dulu rajin setiap hari bertanya, “Vin sudah punya pacar belum, sih?”). Ia juga malas berkumpul dengan keluarganya? Hanya untuk menjadi bahan olok-olok mereka? Meskipun sejauh ini Mama dan adik-nya tidak pernah mengolok-olok dirinya. Vin semakin sering menangis. Ia enggan bertemu Jo! Tidak akan ada lagi Jo yang menghiburnya. Jo pasti sudah berubah begitu cantiknya.

Tapi malam ini Jo yang justru datang menemuinya. Mengetuk pintu kamar berkali-kali. Enggan dibuka.

“Vin, buka pintunya! Atau aku ledakkan!” Jo tertawa.

Vin membenamkan mukanya di sela-sela bantal.

“Vin, kalau ada orang di dunia ini yang bisa mengerti perasaanmu sekarang, maka itu adalah aku!” Jo membujuk.

Vin tidak peduli.

“Vin, aku tidak bergurau. Aku sungguh tidak tahu mengapa seminggu terakhir seluruh dunia mendadak berubah! Terus terang saja, seminggu terakhir, aku enggan sekali bertemu denganmu, karena aku khawatir kau juga mendadak berubah seperti wanita lainnya….” Suara Jo terhenti.

Vin mengangkat kepalanya. Tidak mengerti. Apa maksud kalimat Jo barusan?

“Kau tahu, Vin…. Malam ini aku sungguh memberanikan diri untuk menemui-mu. Berpikir berkali-kali…. Hingga akhirnya memutuskan datang karena aku tidak peduli meski kau berubah cantik seribu kali, kau tetap mau menganggapku sebagai sahabat, bukan?”

Vin beranjak turun dari tempat tidurnya. Senyap sejenak. Gemetar membuka pintu. Dan saat daun pintu sempurna tersibak lihatlah! Jo ternyata juga sama seperti dirinya. Tidak berubah sedikit pun. Tetap jelek jerawatan. Mereka bersitatap satu-sama lain. Membuat terhenti detak jam di dinding. Membuat sepasang cecak menatap curiga (“Ternyata masih ada ya dua cewek jelek di dunia ini?” Salah satu cicak itu berbisik jahil). Mereka berdua yang tidak mengerti decak cicak menghela nafas panjang. Kemudian berpelukan.

Vin menangis tersedu….

“Kenapa kau tidak berubah, Jo? Kenapa kau tidak cantik? Harusnya kau berubah seperti mereka….” Vin bertanya sesak.

Jo mengangkat bahu, sedikit tidak mengerti meski banyak tidak peduli, “Tidak penting kita cantik atau jelek, Vin! Sudahlah! Andaikata seluruh gadis di dunia ini terlihat cantik, dan hanya menyisakan kita sendirian yang jelek, hidup ini tetap terasa indah, bukan? Setidaknya aku masih punya kau, Vin!”

***

Sebulan berlalu. Tidak pernah Vin dan Josephine merasa sedekat ini sepanjang hidup mereka. Setiap hari bertemu. Kemana-mana selalu berdua. Kejadian ini persis seperti di pesta perpisahan itu. Bedanya dulu hanya dalam satu ruangan, sekarang mereka berdua terlihat berbeda di seluruh sudut kota.

Bahkan di seluruh dunia.

Lelah Jo membesarkan hati Vin, “Cantik itu relatif, Vin! Peduli amat dengan tatapan mata mereka….” Maka Vin seperti biasa akan mendesis lirih, penuh kesedihan, “Ya! Cantik itu relatif, tapi jelek itu absolut!” Membuat terdiam sejenak langit-langit meja-makan mereka. Menyisakan denting sendok yang terdengar sungkan dan tanggung.

Malam ini lagi-lagi mereka berkunjung ke SkyCafe. Lupakan makanan buruknya. Vin sekarang sering pergi ke sana hanya untuk menatap dari kejauhan Erik-nya tercinta yang berkunjung bersama gadis cantik itu. Dulu saja gadis itu terlihat cantik, apalagi setelah malam ganjil tersebut. Dibandingkan Vin, gadis itu malam ini cantik bangeto! Membuat Vin yang menatap sendu Erik bagai pungguk merindukan bulan (tapi sekarang bulannya bukan yang biasa yang sering kalian lihat, tapi yang di galaksi Andromeda, satu juta tahun kecepatan cahaya sana!)

“Tuhan kejam sekali….” Vin terisak menangis.

“Tidak! Kita hanya tidak tahu apa maksudnya, Vin!” Jo menggenggam jemari Vin. Berusaha mendiamkan.

Dan inilah yang sungguh tidak diketahui Vin. Sebulan terakhir, ketika seluruh gadis di dunia terlihat sama cantiknya. Perlahan-lahan ada pemahaman yang berubah. Pelan tapi pasti ada ukuran yang berubah. Hei! Cowok-cowok itu mulai bosan melihat “kecantikan” yang itu-itu saja. Bagaimana tidak? Mereka sekarang bisa melihat kecantikan itu di mana saja. Membuka pintu, langsung bertemu wanita cantik, naik angkutan umum, banyak. Di jalanan, lebih banyak lagi. Apalagi saat menyaksikan karnaval hari ibu dua hari lalu, banyaaak banget wanita cantik.

Pria di dunia sungguh mulai bingung. Kalau semua terlihat cantik, jadi di mana lagi ukuran cantik itu? Kalau semua terlihat menarik, apa lagi ukuran hakiki menarik tersebut? Bukankah mereka selama ini ingin merasakan memiliki pasangan yang terlihat lebih “oke” dibandingkan pasangan temannya. Sekarang? Aduh, sama semua. Bertemu di pesta, tidak ada lagi pembicaraan soal lebih-ini, lebih-itu dari pasangannya antar bujang-bujang metropolitan tersebut. Tidak ada lagi saling menyombongkan diri.

Casting film juga membosankan. Apa yang mesti dipilih kalau semuanya sama cantiknya? Miss Universe? Benar-benar lucu menyimak acara live tersebut seminggu lalu, bagaimana mungkin gadis penjual permen dengan pakaian lusuh dan kotor di luar gedung mewah pertunjukan tersebut sama cantiknya dengan pemenang lomba? Dan, tentu saja sama seksinya dengan ibu-ibu pengemis di jembatan penyeberangan yang berpakaian seadanya itu?

Maka malam ini, saat Vin menangis tersedu atas nasibnya, seluruh pria di kota kami juga sedang amat-bingungnya.

“Aku lebih baik mati saja….” Vin tersungkur di atas meja.

“Sudahlah, Vin!” Jo berbisik, berusaha membujuk. Membelai pelan rambut Vin yang pecah-pecah dan ber-ketombean.

“Biarkan aku sendiri….” Vin benar-benar putus-asa.
“Kau hanya menarik perhatian orang lain dengan menangis seperti ini,” Jo mencengkeram lengan Vin.

“Peduli amat? Bukankah kita sudah menarik perhatian dengan wajah dan tubuh jelek ini?” Vin mendesis seperti ular.

Jo salah-tingkah. Ya ampun, bagaimana sekarang?

Suara tangis Vin mengeras. Membuat wajah-wajah tertoleh. Jo semakin bingung hendak melakukan apa agar Vin diam.

“Maukah kau menghapus air-matamu dengan sapu-tangan ini?” Tiba-tiba terdengar suara yang begitu berwibawa dan gagah di sebelah mereka. Memotong sedu-sedan itu.

Jo menoleh. Vin mengangkat kepalanya.

Ya Amplop? Apa yang terjadi? Mata Vin mendadak berkunang-kunang. Jo menelan ludahnya. Lihatlah! Erik, pemuda keren idaman hati tengah menjulurkan sapu-tangan sutera berenda indah ke arah Vin. Tersenyum amat jantan-nya.

“Aku akan tersanjung sekali kalau kau mau memakainya untuk mengelap air-matamu!” Erik menatap Vin yang berderai dengan mata terpesona. Seperti malaikat cinta.

Vin seketika gemetar. Bagaimana mungkin? Seumur-umur hidupnya ia mendambakan Erik mendekatinya. Bahkan pernah sekali mereka bertabrakan di depan pintu lift, lantas ia dibentak-bentak Erik, “Dasar gendut! Mata di taruh di mana? Mata tuh digedein, jangan perut!” Vin merasa bahagia sekali saat itu. Sekarang? Apa yang terjadi? Apakah dunia semakin aneh? Apakah ia sekarang mendadak terlihat lebih cantik?

Tidak. Vin tetap sama jeleknya. Hanya saja karena sebulan terakhir Erik bosanberbeda? Apakah ini sebuah kecantikan? Entahlah! Apa ini yang disebut bidadari? Entahlah! Tapi gadis ini sungguh terlihat berbeda dengan wanita-wanita di sekitarnya. dengan gadis-gadis cantik di sekitarnya. Selama sebulan bingung mencari makna baru arti kata sebuah kecantikan, malam ini saat dia tidak sengaja melirik Vin yang menangis di meja-makan seberangnya, hati Erik langsung berdenting. Duhai, gadis ini berbeda sekali. Lihatlah! Badannya yang besar, rambutnya yang berantakan? Pakaiannya yang

Gadis ini sungguh terlihat menarik.

Maka Erik melangkah dengan hati kebat-kebit, persis seperti remaja tanggung yang sedang melihat gadis pujaan hati untuk pertama kalinya. Lihatlah! Ia sedang menangis, maka Erik bergetar meraih sapu-tangan, bersimpuh mengulurkan sapu-tangan itu. Membuat Vin sekarang sempurna membeku.

Erik, pemuda idaman hatinya duduk di depannya?
Waktu seolah berhenti bagi Vin malam ini.

 “KAU! Kau pria tidak tahu malu! Bagaimana mungkin kau meninggalkan aku sendirian di meja untuk mendekati gadis gendut ini? Mendekati badak yang sedang menangis?” Wanita yang bersama Erik sejak tadi di SkyCafe berteriak marah, berusaha menarik Erik.

“Tutup mulutmu!” Erik mendadak menoleh, melotot sekaligus mendesis, “Jangan bilang wanita terhormat ini badak! Jangan sekali-kali! Ia wanita yang amat menarik. Aku justru bosan melihatmu berhari-hari…. Kau sama saja dengan gadis-gadis lain. Standar banget! STANDAR!”

Vin dan Jo sempurna melongo. Mulut mereka terbuka lebar. Ya ampun? Bagaimana mungkin Erik meneriaki gadis secantik itu di hadapannya dengan sebutan: standar banget?

Malam itu kehidupan Vin sempurna berubah. Ah-ya, tidak hanya kehidupan Vin, tapi kehidupan seluruh dunia.

***

Dan inilah yang terjadi enam bulan kemudian.
Ketika cowok-cowok di kota kami kehilangan definisi kata cantik, kehadiran Vin (dan Jo) seketika melegakan. Lupakan kesapakatan selama ini soal ukuran cantik dan seksi (yang diwariskan leluhur jutaan tahun silam). Itu kekeliruan besar. Cantik itu seperti Vin dengan wajah berminyak dan pipi tembam. Seksi itu seperti Vin yang memakai celana berukuran 42. Lihatlah, muka sendu Vin begitu memesona. Begitu menarik. Membuat hati berdebar tak henti ingin melihatnya. Membuat kepala tak kuasa untuk tertoleh walau sejenak. Maka malam itu Erik merasa pemuda paling beruntung sedunia, saat Vin mauberbicara dengannya.

Perubahan pemahaman atas kata cantik itu bagai badai yang menyapu seluruh sudut dunia. Wusss! Seminggu berlalu, cantik berarti Vin. Seksi berarti Vin. Wanita-wanita yang selama ini merasa dirinya paling cantik mulai tidak pede. Bagaimana tidak? Saat di kamar tidur, suaminya mengeluh, “Yang, tubuhmu tidak se-seksi Vin! Coba deh dibikin gendut sepertinya!” Saat berduaan di taman kota, pasangan cowok mereka mendadak bagai magnet tertoleh menatap Vin dan Jo yang sedang lewat.

Ampun! Vin berubah menjadi maskot kecantikan baru! Stasiun teve berebut menjadikannya bintang. Casting film juga begitu. Ini berbeda. Artis yang benar-benar berbeda dengan gadis-gadis selama ini. Sungguh menarik! Dan enam bulan kemudian ketika ukuran baru tentang cantik itu benar-benar mengambil-alih bisnis hiburan dan industri penampilan, maka terjadilah hal yang mencengangkan tersebut.

“Shampoo 3 in 1 baru. Membuat rambut Anda pecah-pecah dan berketombe! Cobalah!” Ada Vin di situ menjadi modelnya.

“Anda ingin terlihat gendut? Datanglah di fitness-center kami! Menyediakan layanan istimewa. No exercises. No barbel. Banyak makanan penuh lemak. Dan pijat relaksasi untuk membuat lemak itu bertahan lamaa….” Di iklan itu, ada artis pendatang baru (yang berhasil sedikit menggemukkan badannya) menjadi modelnya.

“Hot-Flower! Sabun mandi yang membuat kulit Anda hitam seketika! Anda akan terlihat begitu cantik dengan kulit hitam-legam!” Lagi-lagi artis pendatang baru yang sedikit berhasil membuat hitam badannya menjadi model.

Tapi artis-artis itu jelas kalah ’seksi’ dibanding Vin. Maka Vin menikmati popularitas tak-terkatakan. Dan lebih hebat dari itu semua, pemuda idamannya, pemuda yang dipujanya sepanjang masa, Erik Tarore sekarang sempurna menjadi miliknya. Benar-benar kehidupan yang hebat. Benar-benar takdir yang menakjubkan. Hidup seolah-olah tidak akan bisa lebih baik lagi bagi Vin.

***

“Kita semakin jarang bertemu, Vin!” Jo mendesah pelan.
“Aku sibuk, Jo! Kau tahu itu, kan! Ah-ya seharusnya kau mau menjadi bintang-iklan produk kecantikan itu, Jo. Tidak ada muka yang paling berjerawat se-dunia dibanding mukamu….” Vin melambaikan tangannya, sibuk menekan tombol telepon genggam. Menyuruh Erik menjemput.

Jo menggeleng prihatin. Jo juga sama seperti Vin menjadi maskot kecantikan baru. Diburu-buru untuk menjadi model iklan. Tapi Jo yang sejak dulu amat dewasa menghadapi kehidupan (termasuk soal takdir fisiknya), menolak. Baginya hidup tetap indah meski tanpa penampilan fisik “hebat” tersebut. Dulu indah, sekarang tetap indah, tidak peduli berapa kali ukuran relatif cantik-jelek itu mengalami perubahan.

“Lihatlah, kau sekarang amat memperhatikan tubuhmu, Vin. Sibuk mengukur lingkar perut, sibuk membuat muka berminyak, kau kehilangan waktu-waktu menyenangkan seperti dulu….”

Vin tertawa, mengangkat bahu. Peduli apa dengan masa-masa lalu? Bukankah semua ini menyenangkan?

“Kapan terakhir kali kau bengong di atas dudukan toilet. Merasa senang menatap pintu kamar mandi? Atau menikmati segelas orange-juice dengan santai?”

Vin benar-benar tertawa sekarang. Jo ada-ada saja. Buat apa coba mengenang hal aneh tersebut? Memang dulu menyenangkan sih, bengong sendirian, minum sendirian, tapi lihatlah kehidupannya sekarang?

“Kau juga semakin jarang bertemu dengan keluargamu, kan? Bukankah dulu kau amat dekat dengan Mama dan adikmu? Punya keseharian keluarga yang hebat….” Jo terus mendaftar keluhan berikutnya.

“Sudahlah!” Vin melambaikan tangannya.

Erik terlihat melangkah mendekat.

Bye, Jo! Aku pulang dulu, ya!” Vin memeluk mesra Erik.

***

Masalahnya dengan standar kecantikan yang baru tersebut, gadis-gadis lain di seluruh sudut dunia dengan cepat menyesuaikan diri. Enam bulan pertama, kecantikan Vin tetap tidak terkalahkan, tetapi enam bulan berikutnya, mulai bermunculan tubuh-tubuh gendut, wajah-wajah jerawatan, rambut kusut-masai, dan seterusnya dan seterusnya. Apa yang pernah dibilang tetua bijak? Wanita selalu merasa ingin tampil cantik, apapun itu bentuk standar barunya. Maka dimulailah penyesuaian besar-besaran dalam sejarah kecantikan dunia. Mengalahkan migrasi terbesar binatang yang pernah ada dalam sejarah kehidupan saat Ice Age jutaan tahun bahuela.

Istri-istri yang dulu menangis tersedu saat suaminya sibuk membandingkan tubuhnya dengan Vin, menyeka air-matanya, dan mulai melakukan serangkaian perubahan diri. Gadis-gadis yang diabaikan pasangannya di taman kota melempar rasa iri-hati jauh-jauh, mulai beramai-ramai ikut fitness ’gaya baru’, mengonsumsi makanan berlemak, dan semangat menggunakan kosmetika yang tokcer membuat wajah berjerawat.

Setahun berlalu, Vin perlahan mulai ditinggalkan. Apa mau dikata, cowok-cowok kota kami memiliki pilihan baru sekarang. Vin tetap terlihat paling cantik sih, tapi bukankah kata Jo ukuran cantik itu relatif. Vin soal gendut sih memang paling oke, tapi soal jerawat mah jauh! Soal muka berminyak sih oke, tapi soal wajah tirus? Soal rambut bercabang dan ber-ketombean? Aduh, sekarang yang lagi trend rambut keriting hancur-hancuran, bukan seperti rambut Vin. Lagian soal pipi tembam itu sama saja dengan saat dulu pria sibuk membandingkan gadis mana yang lebih seksi, (maaf) berbuah-dada besar atau kecil. Itu semua relatif. Tergantung selera.

Maka Vin mulai bergulat mempertahankan posisinya. Tidak pernah terbayangkan, ia yang dulu berusaha mati-matian mengusir jerawat di wajah, sekarang malah sengaja semangat menumbuhkannya. Demi karir-nya sebagai bintang iklan. Sebagai selebritis. Lupakan kehidupan menyenangkan dulu. Lupakan hari-hari tanpa beban miliknya dulu. Sekarang Vin sibuk mematut sana, mematut sini. Ia benar-benar dalam posisi di cemburu-i. Sibuk mengurus hal-hal yang dulu dengan rileks ia pikir buat apa coba diurus?

Dan celakanya, saat Vin mulai merasa lelah dengan kehidupan cantik-nya, Erik yang selama ini menjadi tempatnya berkeluh-kesah mulai bertingkah. Erik mulai berani larak-lirik wanita lain. “Apa aku kurang cantik?” Vin berteriak marah saat Erik malam itu lupa menjemputnya. Untuk pertama kalinya Erik tidak merasa perlu buru-buru minta maaf. Bagaimana tidak? Persis seperti lelaki normal lainnya sebelum urusan ganjil ini terjadi, Erik toh sekarang bisa mencari alternatif gadis yang lebih oke, bukan? Lihatlah! Sudah banyak ini…. Jadi kalau Vin bilang “putus”, masih ada banyak gadis gendut lainnya.

***

Dan malam itu Vin benar-benar menangis.
Tangisan pertamanya sejak setahun terakhir.
“KAU! Bagaimana mungkin kau mengkhianatiku, Jo!” Vin tersungkur di samping ranjang.

Lelah sekali ia selama seminggu mencari tahu dengan siapa Erik berselingkuh. Ia pikir dengan gadis ‘cantik’ yang dulu sering dilihatnya di SkyCafe bersama Erik (sekarang gadis itu juga terlihat ‘sama-cantiknya’ dengan dirinya, maksudnya sudah berubah gendut). Ia pikir gadis-gadis itu. Ternyata bukan. Erik ternyata berselingkuh dengan teman terbaiknya. Jo!

“Maafkan aku, Vin…. Aku sungguh tak ingin melakukannya. Erik yang menggodaku. Bilang wajahku cantik tiada tara!” Jo menyeka wajahnya yang berjerawat. Ikut menangis tertahan.

“BOHONG! Kau lah yang menggoda Erik!” Vin mendesis, menatap dengan mata merah.
“Aku tidak melakukannya. Sungguh, Vin! Percayalah.” Jo berusaha memegang jemari Vin.
Vin mengibaskannya, “JANGAN SENTUH AKU!”
Jo tertunduk, air-matanya jatuh berderai. Ia memang tidak pernah memulainya, meskipun selama ini tanpa sepengetahuan Vin ia juga menyimpan hasrat kepada Erik. Pemuda itu juga pemuda idamannya sepanjang masa. Jadi bagaimana ia menolaknya saat Erik datang semalam (dan juga malam-malam sebulan terakhir)? Memuji rambut keriting tak-tertolongnya?

Tadi pagi Vin yang sedih mengunjungi Jo, akhirnya tidak sengaja menemukan bukti perselingkuhan itu. Jo dan Erik sedang berduaan. Lihatlah! Erik sekarang berdiri terdiam seribu bahasa di sudut. Menatap mereka bergantian. Persis seperti remaja tanggung yang tertangkap basah berselingkuh. Dan sekarang bingung menatap dua gadis cantik di hadapannya yang sebentar lagi pasti akan memberikan “soal pilihan ganda” baginya.

Tentu saja ke siapa lagi Erik akan berselingkuh? Meski begitu banyak wanita cantik hari ini, hanya Vin dan Jo yang orisinil dari sono-nya. Bukan cantik setelah melalui serangkaian terapi dan proses. Rambut keriting tak-tertolong Jo seksi benar di pandangan matanya. Apalagi muka tirus itu….

“BAIK! Sekarang biarkan Erik yang memutuskan. MEMILIHMU ATAU AKU!” Vin berteriak kalap.

Jo menggigit bibir. Hendak bilang, jangan.

Erik mengusap rambutnya. Sungguh pilihan yang sulit!  Satu punya body oke dengan gelambir lemak. Satu punya wajah menawan dengan jerawatnya.

***

Malam itu langit terlihat amat buram. Bintang sempurna terusir awan kelam. Rembulan sabit bersembunyi malu. Langit pekat. Angin mendadak takut bertiup. Sepi. Seluruh kehidupan seperti sedang tertidur lengang. Di lantai dua sebuah rumah, jendelanya memang sudah redup, tapi penghuninya sedang takjim menatap langit luar. Penghuninya adalah Vin.  Vin yang mengangkat kedua-belah telapak tangannya.

Vin yang berkata lirih….

Urusan ini sebenarnya amat sederhana. Seseorang yang mencintaimu karena fisik, maka suatu hari ia juga akan pergi karena alasan fisik tersebut. Seseorang yang menyukaimu karena materi, maka suatu hari ia juga akan pergi karena materi. Tetapi seseorang yang mencintaimu karena hati, maka ia tidak akan pernah pergi! Karena hati tidak pernah mengajarkan tentang ukuran relatif lebih baik atau lebih buruk.

Maka Vin berdoa amat takjimnya, “Tuhan, selama ini aku keliru, sungguh keliru... semua kecantikan ini.... Malam ini demi segala janji kebaikan yang masih tersisa, ajarkan aku untuk selalu memiliki hati yang cantik, hati yang cantik... Tidak peduli meski orang-orang tidak pernah sekali pun menyadari kecantikan hati tersebut….”

Malam itu langit tidak terbolak-balik. Tetap lengang. Tanpa petir. Tanpa geledek. Enam belas dadu dilemparkan. Sayang, tidak ada yg tahu sisi mana dari dadu-dadu itu yang bertuliskan kata: Amin!









By: Tere Liye